Oktober 09, 2019

Akhir Pekan, Yuk Jelajah ke Sukabumi (Bagian I)

Situ Gunung saat diguyur hujan gerimis, syahdu
Halo kawan-kawan semua. Kali ini saya ingin berbagi cerita mengapa saya pergi berlibur ke Sukabumi? Alasannya tidak lain, dekat dengan Jakarta yang tidak menyita waktu banyak. Pun Sukabumi mempunyai banyak destinasi yang patut dikunjungi. Sebenarnya saya tertarik dengan Kampung Tradisional Ciptagelar sejak lama, selain ke Geopark Ciletuh dan Situ Gunung.

Inilah jadwal yang saya buat sebelum berangkat. Jadi kami sudah menyewa motor di kota dan penginapan selama dua hari disana. Oh ya, saya pergi bersama teman kantor saya, Mades.

Sabtu, 13 April
Kegiatan
04.30 - 05.00
OTW ke St. Tanjung Barat
05.32 - 06.30
OTW ke St. Bogor by KRL
07.50 - 10.00
OTW ke St. Sukabumi
10.30 - 11.30
Keliling Kota (Kulineran)
11.30 - 12.30
OTW Ke Situgunung
12.30 - 17.00
Jembatan Gantung, Curug Sawer, Danau Situgunung
17.00 - 19.30
OTW Ke Penginapan Mahessa Indah
Minggu, 15 April
Kegiatan
05.00 - 06.49
Bangun, siap2 jalan ke Ciptagelar
07.00 - 09.00
Kampung Adat Ciptagelar
09.00 - 10.30
OTW Ke Geyser Cisolok
10.30 - 11.30
Geyser Cisolok
11.30 - 13.00
OTW Curug Cimarinjung
13.00 - 14.00
Curug Cimarinjung
14.00 - 15.45
OTW Curung Awang
15.45 - 16.45
Curug Awang
16.45 - 17. 30
OTW Puncak Darma
17.00 - 18.00
Sunset Puncak Darma
18.30 - 21.00
OTW Vermisse Guest House
05.15 - 07.18
Pulang Ke St. Bogor

Kami berangkat dari mess kantor selepas subuh. Sekitar jam setengah enam pagi. Dari St. Tanjung Barat dilanjut naik KRL ke St. Bogor. Sampai di Bogor sudah hampir pukul delapan. Ada kereta ekonomi sedang bersiap-siap di salah satu peron.

Saya menanyakan ke petugas. Tak dinyana, Stasiun Paledang itu ada di seberang stasiun pemberhentian KRL. Jadi dua stasiun ini beda lokasi. Deg-degan dong. Terburu-buru kami langsung lari keluar stasiun, naik JPO dan turun lagi menuju kesana. Di atas JPO, saya melihat kereta sudah melintasi perlintasan sebidang dari Stasiun Bogor. Saya memacu lari lebih cepat lagi.

Ngos-ngosan betul. Untung masih beruntung, sistem tiketnya mengalami gangguan sehingga antrean di pintu masuk masih disesaki penumpang. Setelah lima menit, kami sudah berada di atas kereta yang juga langsung berangkat terlambat pukul 8 pagi.

Pemandangan di sekitaran cukup menarik. Rumah-rumah di atas perbukitan. Aliran sungai dan  gunung-gunung. Bentang alam persawahan yang tampak dari jendela kereta. Jarak selama dua jam, tibalah kami di Stasiun Sukabumi. Perjalanan yang cukup singkat sekali bukan. Ehm tunggu kawan. Beginilah cerita destinasi yang ada di Sukabumi kami mulai.

1. Jembatan Gantung Situ Gunung
Potret jembatan terpajang di Asia Tenggara 
Jarak tempuh dari stasiun sejauh 15 kilometer menuju ke utara. Dengan mengendarai motor yang sudah kami sewa dan berbekal aplikasi penunjuk arah. Nah jadi gini kawan, gak enaknya pakai Gmaps itu kadang alternatif jalan yang dipilih gak selamanya benar juga. Sama seperti yang kami alami, penunjuk arahnya malah melewati jalan pedesaan berkontur naik turun. Sebagian jalanan rusak, justru memperlama waktu tempuh. Sudah hampir satu jam, kami belum juga sampai. Mades masih fokus menarik gas motor. Tersisa sekian kilometer, hujan menyambut kedatangan kami. Hujan membasahi bumi sangat deras. Kami berhenti di bengkel seberang Kantor Desa Gede Pangrango. Menunggu hujan reda.

Jembatan Gantung Situ Gunung merupakan jembatan gantung terpanjang di Asia Tenggara. Berada di dalam kawasan TN Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Sukabumi, Jawa Barat. Jembatan ini membentang sepanjang 243 meter, dengan lebar 1,8 meter, sedang ketinggiannya mencapai 161 meter. Sebagai informasi pula, jembatan ini dibangun hanya dalam waktu empat bulan saja loh. Dilakukan penduduk lokal dan tim ahli dari Bandung. Tanpa menggunakan alat berat konstruksi alias dibuat secara manual.

Sampainya kami disana, kabut tebal melingkupi ruang atas kawasan tersebut. Memasuki Taman Nasional, pengunjung harus membayar tiket sebesar Rp18.500 saat akhir pekan. Kemudian untuk melewati jembatan gantung, kita harus membeli tiket lagi seharga Rp50.000. Sebenarnya pengunjung bisa melalui jalur darat untuk menuju ke Curu Sawer tanpa melewati jembatan gantung.

Dengan harga tersebut, kita mendapat jajanan tradisional seperti pisang, singkong rebus, dan minuman hangat, yang bisa dinikmati di area teater. Sembari menonton pertunjukkan seni tradisional yang dipentaskan. Saat kami kesana, orang memakai topeng menari-nari diiringi alat musik nuansa Sunda. Lalu pengunjung ada pula yang ikut menari di atas panggung.

Untuk melewati jembatan gantung, kita akan diberikan safety harness. Tiket masuk akan dicek terlebih dahulu. Menginjakkan kaki di atasnya, otomatis goyangan jembatan lumayan terasa. Bertapak kayu pada dasarnya, lalu pagar pembatas terbuat dari kawat hampir setinggi 1,5 meter pada sisi kanan kirinya, dengan kawat baja yang mengait ke sling baja sebagai batang penggantung.

Sangat tinggi sekali jika melihat ke bawah. Dasarnya pun tidak terlihat. Sebab dedaunan menutup rapat. Ya betul, pohon-pohon hijau tropis sangat lebat tumbuh subur. Sisa kabut di antara perbukitan masih nampak seputih awan. Sangat alami sekali pemandangannya. Serba hijau, ah alam memang selalu mempesona.

2. Curug Sawer
Pesona Curug Sawer yang menjadi sorotan pengunjung TNGGP
Tidak jauh dari lokasi jembatan, kami menyusuri jalan tanah setapak. Sebagian ada yang berbatu. Melewati area perkemahan/glamping. Menyebrangi jembatan bambu. Turun terus sampai ke bawah. Memutari area warung. Berjalan terus sampai ke ujung. Pepohonan masih banyak ditemui di sekitaran. Jarak menuju curug dari pintu masuk sejauh 1,7 kilometer, namun terpangkas 500 meter karena melewati jembatan. Kurang lebih membutuhkan waktu hampir 15 menit dari jembatan.

Sampailah kami di aliran sungai di mana Curug Sawer berada. Memiliki ketinggian 35 meter dengan elevasi 1025 mdpl. Aliran airnya kecil pada hulunya, jatuh deras membuyar ke bawah. Genangan air di bawahnya berwarna coklat sebab sehabis hujan. Batu-batu besar mengumpul di sebelah kiri. Ya, ada jembatan kecil di dekat curug ini. Sebagian pengunjung menikmati curug ini dari titik tersebut.

3. Situ Gunung
Situ Gunung dikelilingi pepohonan yang tumbuh subur di TNGGP
Untuk sampai ke danau ini, kita bisa menuju ke lokasi parkiran yang berjarak 600 meter dari pintu gerbang. Dari tempat parkir, kita bisa berjalan kaki melewati jalan beton sejauh 500 meter. Jalanan menurun. Danaunya ada di bawah sana.

Sampai di bawah, awan pekat dibumbui kabut yang tampak di atas pepohonan membuat suasana menjadi syahdu sekali. Hanya tersisa sedikit pengunjung yang ada disana. Kami berhenti di pelataran danau. Berdamai dengan ekosistemnya.

Ada perahu bambu, perahu bebek, jembatan apung menuju ke daratan di tengah danau. Saya berjalan melewati jembatan apung melihat sekitaran. Sekumpulan pohon cemara menyapa dengan daunnya. Rintik hujan menyambut saya juga juga saudaranya disana. Tetesannya membentuk pola yang dramatis saat mereka bertemu di antara permukaan air. Jelasnya, kabut pun tidak kalah menunjukkan eksistensinya kepada kami. Entah darimana, mereka keluar di antara pohon-pohon menguap ke udara. Ah Tuhan, damai sekali.

Lalu hujan perlahan mengguyur deras. Saya dan Mades semakin larut berada disana. Kalian tahu kawan, ada seorang bapak di atas bambu apungnya menebar jala. Oh ya kawan, jadi danau ini sendiri cukup luas. Di kelilingi perbukitan dengan pohon-pohon entah apa saja.

tunggu dulu ya kawan, bersambung ke cerita selanjutnya disini.....Akhir Pekan, Yuk Jelajah Sukabumi (Bagian II)
Share:

Instagram