Juni 24, 2019

Mendadak ke Indofest

11 Maret 2019

Hari ini ada kecelakaan kereta listrik di Bogor. Anjlok dari perlintasan. Membuat dua gerbong paling depan keluar jalur. Tiang listrik turut roboh. Evakuasi gerbong baru dilakukan malam ini. Nan jauh di Addis Ababa, pesawat Boeing 737 Max jatuh setelah lepas landas menuju Nairobi Ethiopia. Semua awak kabin dan penumpang hampir tiga puluhan negara tewas. Kurang lebih 130-an orang berada di pesawat yang menyisakan puing di lahan tanah yang berserakan.

Tentang kecelakaan, semalam terlintas ketika aku pulang menuju mess kantorku. Aku turun di Tanjung Barat dengan ojek online. Ketika memutar balik melewati jalur rel, alarm kereta sudah berbunyi. Sepertinya kereta terakhir menuju Bogor karena sudah pukul 12 malam. Aku melongok kanan kiri. Lampu sorot kereta nampak di jalur tikungan. Belum dekat memang. Namun imajiku resah kalau terjadi yang tidak baik. Tak dinyana, rupanya pikiran negatif itu terjadi di pagi ini. Berita kecelakaan KRL menjadi headline media online.

Kamu tau. Aku sedang menderita. Bukan sakit. Tapi penyakit yang susah untuk diobati. Rasa malas. Aku sedang malas dua hari belakangan. Alhasil aku hanya leye-leye di kamar. Keluar mess hanya mengisi perut. Tidur siang. Makan siang. Bermain game hingga sore.

Mendadak aku melihat postingan Indofest di instagram. Fiersa Besari manggung di acara outdoor malam hari. Akhirnya aku mandi pergi ke JCC bersama seorang teman. Kami pergi naik Transjakarta menjelang senja.

Ramai sekali pengunjung yang datang. Disana aku menonton Fiersa menyanyikan beberapa lagu karyanya yang lagi digandrungi banyak anak muda. Aku hanya tau satu lagunya yang melow. Ya, judulnya Waktu Yang Salah. Disana pula, aku berpapasan dengan travel influencer Schode di area stand produk ethnic craft.

****

Manusia yang tidak tahu masa depannya ini sudah berumur 25 tahun lebih sepuluh hari. Ya, aku baru saja mencapai titik seperempat. Di persinggahan ini aku merasa semakin tidak paham tentang jalan apa ke depan.

Seperempat sudah. Aku belum siap akan banyak hal. Siklus selanjutnya yang masih rahasia. Tambatan mimpi yang pernah ku derai. Apa bisa dicapai sedemikian kisah.

Malam kegelapan. Aku terbaring di atas kasur dengan hembusan kipas angin yang berdesir. Sedikit semilir dingin mengenai.
Share:

Sudah Seperempat Abad


Gila. Aku merasa ini benar-benar gila. Rasanya begitu cepat sekali sudah berada di titik seperempat ini. Kencang sekali. Ya, menjalaninya memang terasa. Pas sampai, semua sirna. Lelah sudah lupa. Bahagia jua semu. Sedih pernah meronta.

Antara sadar atau halu. Aku melihat sekelilingku. Nyatanya tidak banyak yang berubah. Ya aku masih merasa sama. Beda ketika aku melihat keluar. Mereka seolah sudah jauh pergi lebih dulu dibanding aku. Padahal setiap insan melalui proses yang tentu berbeda.

Apa yang pasti. Ingin rasanya aku mengulang. Apa iya bisa. Membuka kembali lembaran hitam dan putih sebelum tiba di jalan perempatan ini.

Dalam gerbong KRL menuju St Angke, kereta ini turut mengantarkanku menuju entah kemana. Aku berimaji kembali ke belakang. Padahal kereta melaju ke depan. Dia punya tujuan. Sedang aku entah mau kemana. Masih gelap dan belum siap. Entah belum menerima atau masih terbayang akan ketidakpastian ruang dan waktu.

Masa depan memang membuatku takut. Orang pecundang selalu takut akan ketidakpastian. Mirisnya aku mencundangi diriku sendiri. Padahal banyak kemungkinan yang belum mungkin atau bisa jadi baru akan mungkin terjadi. Apa aku lupa ada penguasa yang amat sangat besar. 

Aneh sekali manusia satu ini. Dia sama sekali tidak tahu tujuan masa depannya. Gila. Ini benar-benar parah.

9 Maret 2019 (ditulis dalam keriuhan malam)
Share:

Instagram